Thursday, April 17, 2014

Media dan Dongeng Pengusiran Jokowi


INDONESIA2014 -Pertarungan menuju Pemilihan Presiden Juli 2014 semakin diwarnai dengan perilaku kotor. Yang menjadi sasaran tembak utama tentu saja adalah kandidat yang paling berpotensi menjadi pemenang, Jokowi.
Salah satu kasus terbaru adalah penyebaran berita yang hampir pasti bohong bahwa Jokowi dimarahi Puan Maharani, Ketua Harian Badan Pemenangan pemilu PDIP. Berita ini luas menyebar lewat berbagai media.   
Berita itu terdengar sangat dramatis. Dikisahkan bahwa segera sesudah hasil Hitung Cepat diumumkan pada 9 April sore,  berlangsung rapat petinggi PDIP di kediaman Megawati di Teuku Umar, Jakarta. Suasana rapat sangat panas. Puan kecewa sekali dengan perolehan suara PDIP dalam pemilu legislatif. PDIP sudah menargetkan suara di atas 27 persen, tapi  berdasarkan quick count, perolehan mereka jauh di bawah itu.
Puan, menurut cerita ini, mempertanyakan efek pencapresan Jokowi terhadap perolehan suara PDIP. Para pendukung Jokowi tentu saja membela jagoan mereka. Prananda Prabowo, putra Megawati, berada di kubu itu. Ketika keadaan semakin tegang, Puan meminta Jokowi meninggalkan ruangan. Megawatipun berlinangan air mata.
Dramatis? Tentu. Benar? Sangat mungkin bohong.
Ironisnya, berita itu bermula dari suratkabar terkemuka berbahasa inggris, The Jakarta Post (JP) pada 12 April. Selama ini, JP dikenal sangat berhati-hati. Tapi kali ini, para redaktur koran itu meloloskan saja sebuah berita yang tak jelas kebenarannya.
Kisah dramatis itu datang dari sebuah sumber yang tak mau disebut namanya. Orang itu, menurut wartawan yang menulisnya, adalah orang dalam lingkaran Megawati.  Saking percayanya si wartawan, berita dengan sumber anonim itu ditulis sebagai seolah-olah fakta sesungguhnya.
Jakarta Post memang suratkabar dengan khalayak terbatas. Namun kali ini, berita itu dengan segera dikutip dan digandakan – setelah diterjemahkan -- melalui beragam media: suratkabar, majalah, media online, blog, twitter, facebook, bahkan forum-forum diskusi online.
Bantahan memang dengan segera bermunculan. Jokowi dan Puan sudah menyatakan insiden itu tak pernah terjadi. Yang paling fatal dari keakuratan berita ini adalah Puan bahkan tak berada di rumah Megawati ketika pertemuan pertemuan pasca quick count dilakukan. Ada dua versi mengenai lokasi Puan saat itu: di rumah Megawati di Kebagusan atau sudah dalam perjalanan menuju ke Hongkong.
JP dengan segera menyajikan serangkaian berita untuk meluruskan berita yang salah itu. JP memuat pernyataan-pernyataan dari mereka yang hadir di acara tersebut untuk membantah adanya pengusiran itu.
Wartawan yang menulis berita itu, Hans David Tampubolon, tak mau membeberkan nama narasumber anonim yang dikutipnya. Namun ia memberi ruang wawancara khusus dengan Sekjen PDIP Hasto Kristianto untuk membantah kabar bohong itu.
Kasus ini kembali menunjukkan bagaimana begitu mudahnya media Indonesia menjadi sarana penyebaran fitnah dan kebohongan. Tak ada yang tahu pasti motivasi Hans David Tampubolon menulis berita itu. Namun yang pasti dia – dan redaktur Jakarta Post – mengabaikan prinsip paling mendasar dalam dunia jurnalistik professional.
Media massa harus menjaga akurasi dan kebenaran berita yang disampaikannya. Karena itu media massa seharusnya tak menyiarkan sebuah informasi penting yang datang dari narasumber yang tak mau disebut namanya, kecuali ada informasi lain yang bisa memperkuat kesahihan berita itu. Apalagi kalau berita itu bisa merusak reputasi dan nama baik orang.
Banyak pihak memang tahu ada keretakan dalam kubu PDIP. Perbedaan antara Puan dan Prananda bukan lagi rahasia umum. Bahwa Puan juga tak sepenuhnya ikhlas dengan pengumuman Jokowi sebagai capres PDIP pun sudah cukup diketahui. Masalahnya, kalaupun keretakan itu ada, itu bukan bukti yang bisa membenarkan bahwa Puan mengusir Jokowi seperti yang dikisahkan si narasumber hitam itu.
Ada banyak media di Indonesia yang memang dengan gegabah begitu saja menyajikan informasi dari sumber anonim. Tak ada verifikasi dari pihak lain. Dan kalau media kemudian dikritik karena informasi semacam itu, media kerap berlindung di balik tameng ‘kebebasan pers’.
Dengan memberikan kesempatan bagi Jokowi, Puan dan petinggi PDIP untuk mengklarifikasi kebenaran berita tersebut, Jakarta Post mungkin merasa sudah melunasi hutang pada Jokowi.
Tapi itu tentu jauh dari cukup. Jakarta Post  dan Hans David Tampubolon seharusnya bertanggungjawab menyampaikan kebenaran kepada publik. Kalau tidak, media akan nampak menjadi sekadar media propaganda hitam.
Apakah Jakarta Post dibayar untuk menyerang Jokowi? Rasanya tidak. Apakah Hans David Tampubolon dibayar untuk menjelekkan Jokowi dan PDIP? Bisa Jadi. (AA)
 http://www.indonesia-2014.com/
Foto: Tempo 

No comments:

Post a Comment